Agar proses pembelajaran Bahasa Jepang menjadi lebih terarah dan mengurangi kesalahpahaman komunikasi antara penutur Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Penutur Bahasa Indonesia perlu memahami perbedaan budaya antara Indonesia dan Jepang dalam proses pembelajaran Bahasa Jepang.
Menurut Erin Meyer, seorang Profesor di Bidang Organisasi Manajemen Bisnis dan ahli silang budaya di INSEAD, dalam bukunya yang berjudul 'The Culture Map', mis-komunikasi antara orang-orang dari berbagai negara dengan tujuan yang sama tidak hanya disebabkan oleh masalah mistranslasi, tetapi juga karena perbedaan budaya dan pola pikir masyarakat.
Erin Meyer mengidentifikasi 8 indikator perbedaan budaya antara negara-negara, di antaranya:
1. Komunikasi: tingkat kontekstual yang rendah atau tinggi.
2. Evaluasi dan Kritik: menyampaikan kritik secara langsung atau tidak langsung.
3. Kepemimpinan: konsep hierarkis atau egaliter.
4. Pengambilan Keputusan: apakah bersifat konsensual atau diambil secara hierarkis dari atas ke bawah.
5. Relasi: berpusat pada kepercayaan individu atau berdasarkan orientasi pekerjaan profesional.
6. Menyatakan Ketidaksetujuan: melakukannya secara langsung atau tidak langsung.
7. Konsep Waktu: penggunaan waktu yang linear atau fleksibel.
8. Memengaruhi Ide: pendekatan spesifik atau holistik.
Dari kedelapan indikator tersebut, Erin Meyer dalam penelitiannya menyebutkan dua perbedaan signifikan antara Indonesia dan Jepang pada indikator keempat dan ketujuh. Selain itu, ada perbedaan kecil pada konsep kelima.
Hal ini pun dirasakan oleh penulis yang telah lama terlibat dengan Bahasa Jepang selama kurang lebih 15 tahun baik dalam pekerjaan maupun pendidikan, penulis menegaskan pentingnya memahami gaya komunikasi dalam pengambilan keputusan dan pola pikir mengenai waktu saat belajar Bahasa Jepang.
Menurut pengalaman pribadi, Penulis pun merasakan masalah komunikasi saat berkomunikasi dengan orang Jepang menggunakan Bahasa Jepang, khususnya terkait waktu. Sebagai contoh, Penulis sebagai penutur asli bahasa Indonesia berbicara “kemarin saya sudah mengerjakannya”. Lawan bicara Orang Jepang yang mendengar hal ini berkata “kemarin kamu Bersama saya seharian pergi meeting, saya yakin kamu kemarin tidak mengerjakan hal itu”. Disinilah terjadi salah paham komunikasi waktu. Kontekstual waktu bagi penulis yang mempunyai latar belakang penutur Bahasa Indonesia, tidak terlalu menekankan persistensi waktu saat berbicara. Hal ini tercermin pada kata “kemarin” bagi penulis sebagai penutur asli Bahasa Indonesia yang berarti 2hari lalu, 1minggu lalu, 1bulan lalu bahkan 1tahun lalu. Sedangkan bagi orang Jepang dengan pola pikir waktu linear, mereka menekankan komunikasi waktu yang sangat persisten.
Dilain aspek, perbedaan ini juga tercermin dalam gaya pengambilan keputusan pribadi atau kolektif. Sebagai contoh, ketika penulis berencana membeli barang secara online melalui portal Online Jepang dari penutur Bahasa Jepang, penulis melakukan pembelian tanpa permintaan sebelumnya. Yang mengakibatkan, penutur Bahasa Jepang merasa tidak nyaman karena tidak adanya komunikasi permintaan pembelian sebelumnya.
Dengan memahami perbedaan ini, penutur Bahasa Indonesia dapat diuntungkan dalam proses pembelajaran tata bahasa Bahasa Jepang terutama dalam Tata Bahasa sopan atau gaya berbicara tidak langsung dalam Bahasa Jepang.
Dengan demikian meskipun tata bahasa dan rumus Bahasa dapat dipelajari melalui buku, namun proses pembelajaran akan lebih lancar jika ada seorang pembimbing yang mengerti nuansa-nuansa Bahasa tersebut. Merry Sensei, dengan pengalaman lebih dari 15 tahun dalam mempelajari Bahasa Jepang, dapat menjadi opsi yang tepat untuk membimbing dalam memahami Tata Bahasa Jepang beserta nuansa dalam Tata Bahasa Jepang.
Sumber Data:
Erin Meyer. 2014. The Culture Map, United States: Public Affairs.
Comments